Selasa, 03 November 2009

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan serta peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan tersebut diarahkan untuk mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahpikir, olahhati, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global yang penuh persaingan.
Untuk mengimplementasikan tujuan Sistem Pendidikan Nasional itu maka perlu dijabarkan kedalam sejumlah peraturan antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, salah satunya memuat standar isi yang didalamnya mengatur tentang kurikulum sekolah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum merupakan core business (urusan utama) dari pendidikan. Mulyasa (2005:3) menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga syarat utama yang perlu diperhatikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui institusi pendidikan, yakni 1) kurikulum yang berkualitas, 2) sarana-prasarana yang memadai, dan 3) tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional. Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia, banyak hasil survey atau penelitian menunjukkan bahwa manusia Indonesia belumlah mampu bersaing di dunia, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah (2006), serta Jalal dan Supriadi (2001) yaitu :
Pertama, lebih dari 80% tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SD dan buta aksara. Untuk menunjang pembangunan ekonomi, kualifikasi tenaga kerja demikian tidaklah memadai.
Kedua, mutu pendidikan khususnya pendidikan dasar masih sangat memprihatinkan antara lain kemampuan membaca siswa di kawasan ASEAN merupakan terendah, hasil studi The International Educational Achievement (IEA) tahun 1999 menunjukkan kemampuan siswa SMP terhadap matematika dan IPA masih memprihatinkan.
Ketiga, ukuran indeks sumberdaya manusia pembangunan (Human Development Index atau HDI) relatif masih ketinggalan, walaupun terdapat peningkatan setiap periode.
Implikasi dari gambaran sumberdaya manusia Indonesia di atas, banyak pihak menuding bahwa mutu pendidikanlah penyebabnya, yang faktor utamanya adalah kurikulum. Untuk itu pemerintah telah berupaya melalui berbagai program peningkatan mutu pendidikan antara lain pembakuan kurikulum sekolah sejak tahun 1975, perubahan kurikulum 1984, kurikulum 1994 dan suplemennya, serta kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Namun sampai saat ini masih terdapat beberapa masalah yang menghambat upaya peningkatan mutu, yang boleh jadi disebabkan oleh kurikulum sekolah. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1) Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hapalan sehingga kreatifitas siswa cenderung terabaikan. Juga proses pembelajaran yang kaku dan formal mengakibatkan proses pembelajaran tersebut menjadi steril dengan perubahan lingkungan siswa (Alhadza, 2005:69).
2) Terlalu terstrukturnya kurikulum sekolah dan sarat beban, baik materi maupun waktu kegiatan di sekolah. Sebagai gambaran menurut Prasetyo (2006:147), dalam setahun jam pelajaran siswa SD hingga SMA di Indonesia lebih dari 1.000 jam pertahun dan merupakan angka terlama di dunia sekalipun dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya berkisar 900-960 jam pertahun.
Untuk mengatasi hal-hal yang diuraikan pada bagian di atas serta dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pada tahun 2006 Depdiknas melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 meluncurkan kurikulum baru yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan kurikulum tersebut lebih dititikberatkan pada penetapan kompetensi dasar peserta didik dengan ukuran terpenting dari prestasi siswa adalah penguasaan standar kompetensi yang dituntut (BSNP : 2006). Kurikulum baru tersebut juga memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkannya dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan daerah sekitarnya. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat dan kebijakan otonomi daerah yang antara lain meliputi otonomi dalam pengelolaan pendidikan.
B. Batasan Masalah
Mengingat cakupan kurikulum yang sangat luas, maka pembahasan pada makalah ini dibatasi pada kebijakan kurikulum pendidikan formal pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Uraian sebagai pembahasan makalah ini akan lebih dititikberatkan pada deskripsi proses analisis kebijakan, penetapan kebijakan pengembangan kurikulum, implementasi dan evaluasi kebijakan kurikulum dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Sedangkan kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum mutakhir yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

BAB. II
PEMBAHASAN

A. Proses Analisis Kebijakan
1. Proses Kebijakan Pengembangan Kurikulum
Guna mencapai tujuan pendidikan nasional seperti amanat undang-undang melalui kebijakan pengembangan kurikulum, maka kebijakan tersebut tentunya harus diimplementasikan. Agar berhasil, maka sebelum diimplementasikan harus dianalisis terlebih dahulu. Somantrie (2005:2) menyatakan bahwa analisis kebijakan pengembangan kurikulum dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1) Analisis kebutuhan, meliputi:
a. analisis kebutuhan masyarakat terhadap kurikulum, diantaranya:
 kebutuhan untuk menularkan lingkungan budaya dan tatanan masyarakat,
 kebutuhan untuk mempersiapkan anak sebelum memasuki kehidupan masyarakat,
 kebutuhan untuk memperkenalkan nilai-nilai yang berlaku serta harapan dan masalah-masalah sosial masyarakat,
b. analisis kebutuhan pengembangan ilmu dan teknologi melalui kurikulum, diantaranya:
 kebutuhan jenis ilmu dan teknologi yang seharusnya dipelajari anak,
 kebutuhan jenis ilmu dan teknologi yang bermanfaat bagi anak,
 kebutuhan untuk mengorganisasikan ilmu dan teknologi untuk kepentingan pendidikan,
 kebutuhan kriteria untuk menentukan relevansi ilmu dan teknologi dengan kebutuhan anak,
c. analisis kebutuhan anak, diantaranya:
 kebutuhan akan populasi anak (normal, luar biasa, dan sebagainya),
 kebutuhan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak,
 kebutuhan tentang kondisi lingkungan anak,
 kebutuhan tentang kesempatan anak dalam hubungannya dengan dunia kerja, pengembangan karir dan proyeksi pertumbuhan ekonomi,
 kebutuhan tentang kesempatan belajar berdasarkan minat dan kemampuan anak,
2) Merumuskan kebutuhan dan desain kurikulum, meliputi:
 kebutuhan kurikulum atas kondisi khusus dan kepentingan lembaga pendidikan baik lembaga pendidikan umum maupun pendidikan khusus/kejuruan,
 kurikulum yang dikembangkan harus berdasarkan pada efektifitas kurikulum sebelumnya,
3) Menyusun kurikulum, yang memanfaatkan pengalaman atau kajian para ahli kurikulum. Untuk itu dalam menyusun kurikulum perlu ditelaah tiga sumber penentuan tujuan yang harus dicapai sekolah, yaitu 1) peserta didik, 2) kehidupan masa sekarang di luar lingkungan sekolah, dan 3) pertimbangan para ahli. Selanjutnya menurut Tyler (dalam Somantrie, 2005:4) menyatakan perumusan tujuan kurikulum harus mencakup hal-hal: 1) generalisasi bidang pelajaran, 2) pengembangan sikap, kepekaan dan perasaan, 3) penguatan cara berpikir, dan 4) penguasaan kebiasaan dan keterampilan.
2. Unsur yang terlibat dalam pengembangan kurikulum.
Sebelum penetapan kebijakan kurikulum dilakukan, para pengambil keputusan mengadakan pertemuan untuk menentukan kebijakan tersebut. Begitupula pada saat proses pengembangan berlangsung, para pengambil keputusan akan memberikan masukan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan kebijakan pendidikan nasional. Adapun unsur yang terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan kurikulum ialah para pengambil keputusan yang terkait dengan penetapan kurikulum, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, ahli psikologi, dan guru-guru (Tim Pengembang Kurikulum yang ada di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota).
3. Beberapa pengaruh terhadap pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik secara langsung maupun tidak. Pengaruh langsung misalnya datang dari lembaga eksekutif dan legislatif yang mempunyai kepentingan dengan kurikulum. Pengaruh tidak langsung datang dari masyarakat yang merasa langsung atau tidak langsung terlibat atau mempunyai kepentingan, misalnya polemik terhadap mata pelajaran agama yang dinilai masih perlu diberikan dan bahkan ditingkatkan untuk mengurangi tingkat perkelahian pelajar atau penyalahgunaan narkotika yang saat ini dirasakan memprihatinkan.
B. Penetapan Kebijakan
Dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Petunjuk Keterlaksanaannya, maka dengan demikian mulai tahun pelajaran 2006/2007 sekolah dasar dan menengah melaksanakan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum baru tersebut merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/Kurikulum 2004) yang telah didahului dengan ujicoba terbatas pada sejumlah sekolah selama 3 tahun (paling tidak tercatat 640 SMP melaksanakan ujicoba KBK di seluruh Indonesia). Penetapan tersebut berdasarkan evaluasi terhadap hasil ujicoba dan pengkajian yang dilakukan oleh para ahli yang berkumpul dalam wadah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
C. Implementasi Kebijakan
Kurikulum hanya sebuah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu kurikulum tersebut haruslah efektif dan efisien. Jika kurikulum tidak memadai dan relevan lagi dengan perkembangan masyarakat, maka perlu disempurnakan. Oleh karena itu kurikulum memang harus diperbaharui secara periodik. Di negara kita untuk pembaharuan kurikulum dikenal dengan siklus 10 tahunan (sejak tahun 1975, 1984, 1994 dan 2004).
Dengan ditetapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk kurikulum sekolah melalui Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 tersebut maka mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dan siap atau tidak siap sekolah harus mengimplementasikannya mulai tahun 2006/2007 dan diharapkan pada tahun 2010 seluruh sekolah di Indonesia telah mengimplementasikannya untuk seluruh tingkat kelas.

Pada dasarnya semua kebijakan pendidikan disemangati oleh nilai-nilai yang diyakini baik dan ingin memperbaiki kondisi faktual yang ada, begitu pula dengan kebijakan pembaharuan kurikulum ini. Karena ingin memperbaiki kondisi faktual yang ada maka kebijakan pengembangan kurikulum ini dapat dianggap sebagai sebuah inovasi. Namun benarkah demikian? Setiap ada perubahan kurikulum maka semua stakeholder pendidikan menjadi repot dan tidak jarang menimbulkan konflik.
Sebagai gambaran, berikut adalah persepsi guru-guru sebagai pelaksana kurikulum di sekolah dan stakeholder pendidikan yang baru mengenal KTSP, dan sedang mengimplementasikannya, yang dimintai pendapatnya oleh penulis selama penulis melakukan kegiatan sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara.
1. ”Saya berpendapat bahwa kurikulum baru ini merupakan beban baru bagi guru karena selain dituntut untuk membawakan materi pelajaran, juga dituntut untuk mendesain kurikulum, membuat administrasinya, bahkan penilaiannya yang teramat rumit. Padahal waktu kuliah dulu saya tidak diajarkan bagaimana mendesain kurikulum”.
2. ”Saya melihat bahwa KTSP ini sejalan dengan semangat otonomi daerah dan manajemen berbasis sekolah, karena memberikan kesempatan kepada sekolah untuk memberdayakan sekolahnya sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki”.
3. ”KTSP ini merupakan salah satu bentuk kemajuan pendidikan, karena diawali dengan penyusunan rencana kerja sekolah selama setahun secara bersama antara kepala sekolah, guru, tenaga tata usaha, dan masyarakat, sehingga membantu meningkatkan kinerja sekolah”.
4. ”Saya menganggap perubahan ke kurikulum baru ini adalah perubahan yang akan membawa resiko beban pembiayaan yang ditanggung oleh orang tua siswa, karena setiap ganti kurikulum berarti ganti buku pelajaran”.
5. ”Bagi saya, kurikulum baru ini memberikan peluang untuk melaksanakan pembelajaran dengan kreatif, sehingga saya leluasa untuk berbuat tanpa bergantung lagi pada buku paket”.
6. ”Begitulah pendidikan kita, pergantian kurikulum yang berulang-ulang tetapi tidak pernah dievaluasi”.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaklah implementasi KTSP ini menimbulkan pertentangan. Namun, sudah menjadi kelaziman bahwa sesuatu yang baru (cara kerja, prosedur atau aturan), apabila diperkenalkan dalam suatu organisasi, individu atau masyarakat dan tidak menimbulkan konflik (dalam hal ini tidak menimbulkan pertentangan terhadap inovasi tersebut) maka dapat diartikan bahwa inovasi tersebut sama sekali tidak baru atau tidak menawarkan sumbangan penting bagi perubahan yang lebih baik. Oleh karena itu inovasi tersebut akan mengancam status quo dan akibatnya akan menimbulkan konflik.
Dalam beberapa hal, fenomena reaksi tersebut merupakan sebuah kewajaran dan normal dalam setiap individu. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya apabila tidak dipaksa oleh keadaan orang cenderung tidak melakukan kegiatan apapun/apatis. Hal ini sesuai dengan teori motivasi McGregor yang mengasumsikan bahwa manusia harus didorong oleh faktor eksternal untuk berbuat, dan manusia pada dasarnya memilih untuk tidak melakukan suatu kegiatan.
D. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum adalah suatu kegiatan penilaian kurikulum yang biasanya dilakukan pada suatu periode yang telah ditentukan setelah suatu kurikulum diimplementasikan. Penilaian kurikulum tersebut dilakukan dengan maksud untuk melihat kualitas dan efektifitas program kurikulum sedangkan tujuannya adalah mendiagnosa, memperbaiki, membandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, serta menentukan seberapa baiknya pelaksanaan kurikulum apabila dinilai berdasarkan kriteria atau bila dibandingkan dengan kurikulum lainnya.
Somantrie (2005:8) menyatakan sebelum penilaian kurikulum dilakukan perlu terlebih dahulu menetapkan tujuan, fungsi dan pemanfaatan hasil penilaian, menentukan komponen yang akan dinilai, dan memilih metode yang tepat, sedangkan pelaksanaannya diperlukan langkah-langkah pengumpulan, pengolahan dan penafsiran data. Penekanan utama penilaian kurikulum adalah sejauhmana kurikulum telah dicapai melalui kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, penilaian kurikulum memegang peranan penting dalam berbagai keputusan untuk memperbaiki baik materi kurikulumnya sendiri maupun pelaksanaannya. Hasil dari penilaian tersebut akan menunjukkan bahwa penilaian kurikulum memberikan informasi kepada pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih tetap digunakan, diperbaiki, atau diganti dengan kurikulum baru.
Berkaitan dengan hal tersebut, implementasi KTSP yang baru berjalan kurang lebih selama satu tahun ini belumlah layak untuk dievaluasi dari segi hasil terhadap siswa, bila dilihat dari kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Namun, dari segi pelaksanaan pembelajaran, dapat dilakukan melalui kegiatan monitoring yang dilakukan baik oleh tingkat sekolah (kepala sekolah atau guru), tingkat daerah (oleh pengawas atau tim pengembang kurikulum) maupun tingkat pusat (tenaga ahli kurikulum dan pembelajaran). Mengingat pelaksanaan kurikulum di tingkat sekolah menganut prinsip ’kesatuan dalam kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan’ maka dimungkinkan implementasinya akan muncul keberagaman. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan pedoman pelaksanaannya yang mengacu pada standar nasional, sehingga penilaian kurikulumnya menggunakan acuan nasional.
Diharapkan hasil dari penilaian kurikulum tersebut akan secara langsung mendukung upaya penyempurnaan proses pembelajaran, pengembangan kurikulum, pelaporan kepada para pengambil keputusan, perbaikan administrasi pendidikan dan program penelitian/pengembangan sehingga diharapkan mutu pendidikan dapat tercapai dan pada akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

BAB. III
PENUTUP
Berdasarkan dari pembahasan di atas, diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum adalah suatu upaya untuk memperbaiki mutu sumberdaya manusia melalui pendidikan sebagai antisipasi perkembangan masyarakat yang terus mengalami perubahan.
2. Depdiknas RI melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 meluncurkan kurikulum baru yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini lebih menitikberatkan pada penetapan kompetensi dasar siswa dengan ukuran terpenting prestasi siswa adalah penguasaan standar kompetensi, dan memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkannya sesuai dengan potensi sekolah dan daerah, yang sejalan dengan semangat otonomi daerah .
3. Tahapan kegiatan analisis kebijakan pengembangan kurikulum yaitu 1) analisis kebutuhan, 2) merumuskan kebutuhan dan desain kurikulum, dan 3) menyusun kurikulum,
4. Dasar penetapan dan pemberlakuan KTSP adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Petunjuk Keterlaksanaannya. Dengan demikian mulai tahun pelajaran 2006/2007 sekolah dasar dan menengah telah menerapkannya. KTSP sebagai penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/Kurikulum 2004), penetapannya didasarkan dari hasil evaluasi terhadap hasil ujicoba terbatas pada sejumlah sekolah selama 3 tahun dan pengkajian yang dilakukan oleh para ahli yang berkumpul dalam wadah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
5. Kebijakan kurikulum baru ini menimbulkan konflik/pertentangan karena sifatnya sebagai inovasi. Namun, reaksi tersebut merupakan sebuah kewajaran dan normal. Dengan ditetapkannya KTSP tersebut maka mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dan siap atau tidak siap seluruh sekolah di Indonesia harus mengimplementasikannya pada tahun 2010 untuk seluruh tingkat kelas.
6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum adalah suatu kegiatan penilaian kurikulum yang biasanya dilakukan pada suatu periode yang telah ditentukan setelah suatu kurikulum diimplementasikan, dengan maksud dan tujuan adalah untuk melihat kualitas dan efektifitas program kurikulum, mendiagnosa, memperbaiki, membandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, serta menentukan seberapa baiknya pelaksanaan kurikulum.
7. Implementasi KTSP yang baru berjalan kurang lebih selama satu tahun belum layak dievaluasi dari segi hasil terhadap siswa, bila dilihat dari kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Namun, dari segi pelaksanaan pembelajaran, dapat dilakukan melalui kegiatan monitoring yang dilakukan baik oleh tingkat sekolah (kepala sekolah atau guru), tingkat daerah (oleh pengawas atau tim pengembang kurikulum) maupun tingkat pusat (tenaga ahli kurikulum dan pembelajaran).

2 komentar:

  1. I recently found this website that I want to share with everyopne as they were a great help when I was
    working on a recent project. I needed to know how to do some stuff in PHP and they were able to provide
    a tutorial sepcifically tailored to my needs. It was awesome.

    [url=http://teamtutorials.com]TeamTutorials[/url]

    I recommend you hit them up and check them out if you need assistance.

    BalasHapus
  2. Thanks a lot to bring me a link [url=http://teamtutorials.com]TeamTutorials[/url]
    And thank's to visited my blog.
    Best regard.

    BalasHapus

Komentar anda