Selasa, 21 September 2010

PR Hanya 'Menyulitkan' Hidup Siswa

"Pak Guru, jujur saja saya tidak mengerjakan PR saya".

"Saya pusing Pak Guru, di rumah pekerjaan saya terlalu banyak".

"Semalam saya mengerjakan PR mata pelajaran lain, jadi PR-nya tidak sempat dikerjakan".

Itulah jawaban siswa yang paling sering saya terima manakala saya menagih PR (Pekerjaan Rumah/Tugas Rumah) mereka. Demikian kata teman guru saya, saat saya bertemu di sebuah pelatihan.

Memang menangani PR bagi kita para guru kadang-kadang membuat kecewa. Padahal saat kita memberikan PR tersebut disertai dengan 'wanti-wanti' bahwa hasil pekerjaan rumah nantinya akan mempengaruhi nilai mata pelajarannya, hasil pekerjaan rumah nantinya akan menentukan kelulusan atau naik kelas mereka. Sementara, dilain pihak sesuai dengan tuntutan kurikulum, kita diharuskan untuk memberikan materi dengan tuntas.

Lantas, memberi hukuman kepada siswa yang tidak mengerjakan PR-nya? Ups, no-way, tunggu dulu, bukan jamannya lagi memberi hukuman fisik, ini sekolah bukan tempat untuk orang-orang hukuman. Dengan sedikit tambahan kesibukan, cobalah menilik alasan-alasan siswa tersebut, bisa jadi mereka tidak mengerjakannya karena dengan kepolosan atau apa adanya memang mereka tidak mengetahuinya, kurang memiliki kesempatan untuk mengerjakannya di rumah (makanya disebut Pekerjaan Rumah) atau bahkan kehilangan kepercayaan terhadap guru. Siswa kehilangan kepercayaan kepada guru? Ya, karena guru memberikan PR yang lumayan banyak dengan deadline terbatas sehingga terkesan balas dendam (seperti dosen saya saat saya kuliah) dan tidak pernah mengembalikan hasil pekerjaan mereka mengakibatkan mereka menjadi malas untuk berbuat.

Olehnya itu, kita perlu mengkomunikasikannya secara intensif dengan siswa, membuat komitmen bahwa mengerjakan PR bukan sekedar benar atau salah sehingga memperoleh nilai bagus, tetapi bentuk tanggung jawab yang diberikan sehingga siswa menjadi pelajar yang bertanggung jawab. Tentunya setelah mereka mengerjakannya, kita memeriksa, memberi nilai dan mengembalikan disertai dengan komentar yang memotivasi mereka.

Kita perlu berkomunikasi pula kepada orang tua siswa bahwa siswa memperoleh pelajaran tidak saja di sekolah, tetapi juga di rumah. Sebagai gambaran bahwa dari 24 jam sehari, waktu siswa berada di rumah lebih banyak (selama 18 jam) dibandingkan waktu mereka di sekolah yang hanya 5-6 jam. Untuk itu dengan memberikan penyadaran kepada orang tua siswa agar memberi kesempatan kepada anaknya untuk membuka kembali pelajaran mereka di rumah atau bahkan membuat jam wajib belajar di rumah.

Pun, kita perlu berkomunikasi kepada sesama guru agar pemberian PR tidak bertumpuk pada hari yang sama waktu penyetorannya sehingga siswa tidak merasa terbebani. Dan yang tak kalah pentingnya adalah introspeksi diri, melihat kembali metode pembelajaran yang kita lakukan mungkin kurang pas untuk materi yang kita ajarkan dan bagi siswa, tidak memberikan PR dalam jumlah yang banyak disertai memperhitungkan waktu penyelesaiannya, memilih materi pelajaran yang benar-benar penting (esensial) saja untuk pencapaian kompetensi mereka, serta memberikan apresiasi bagi mereka yang mengerjakan PR dan memperoleh nilai bagus. Dengan begitu, mudah-mudahan siswa dengan kesadaran yang tinggi mau mengerjakannya sehingga PR bukan menjadi beban hidup mereka. Bukankah tugas guru adalah memberikan kemudahan bagi siswa untuk mempersiapkan kehidupannya yang akan datang? Bagaimana?

Kendari, 21 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda