Pertanyaan ‘besar’ tersebut muncul dibenak saya bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati hari ini. Pertanyaan itu sekaligus sebuah ‘fenomena menarik’ ketika para guru meminta agar kewenangan pengelolaan guru dikembalikan ke Pemerintah Pusat setelah kita berada dalam euforia otonomi daerah. Dikatakan pertanyaan besar karena muaranya menyangkut pada hajat hidup orang banyak (guru dan anak-cucunya) karena jumlah person guru yang tercatat di pemerintah pusat sekitar 4,8 jutaan. Dan dikatakan fenomena menarik karena masih teringat di kepala ketika remormasi bergulir melahirkan apa yang namanya pembagian kue kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Saat itu ‘kita’ ramai-ramai menuntut agar kewenangan pengelolaan pendidikan termasuk tenaga guru dikerjakan oleh pemerintah daerah. Setelah berjalan 10 tahunan malah tuntutannya menjadi terbalik.
Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain:
1. Masalah Kesejahteraan. Hak-hak guru semisal keterlambatan memperoleh tunjangan sertifikasi atau penyaluran dana BOS, terinjak-injak akibat kebijakan otonomi, karena cost pembangunan dibebankan kepada mereka. Sering kita dengan sumbangan pembangunan gedung anggota dewan yang terhormat, sumbangan pendirian rumah ibadah, pelaksanaan Hari Kemerdekaan atau sumbangan pelaksanaan kegiatan lain yang tidak ada berhubungan dengan konteks pendidikan. Akhirnya guru merasa sebagai sapi perahan. Dan ketiban sial-lah bagi guru yang bertugas di daerah pemekaran baru dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang (katanya) masih harus dicari karena guru di daerah itu lebih banyak mengalaminya.
2. Masalah Politik Lokal. Saat ini kita tidak bisa menutup mata bahwa tenaga pendidikan dan kependidikan terutama guru diletakkan pada posisi birokrasi berakibat inovasi dan kreatifitas mereka menjadi terpasung, dikontrol oleh pemerintah daerah. Tak heran muncul anekdot dikalangan para guru mengenai pemasungan ini yaitu Kepala Dinas menekan Pengawas Sekolah, Pengawas menekan Kepala Sekolah, terus Kepala Sekolah menekan Guru, terus Guru menekan Siswa. Pulang di rumah, Siswa menekan Bapaknya dan malamnya Bapaknya menekan Ibunya (hehehehe......). Paling dirasakan menjelang PILKADA, maka gurulah orang yang pertama ‘dicari’. Sesudah PILKADA, guru dan bidang pendidikanlah yang disimpan dalam prioritas nomor buncit. Padahal seharusnya guru steril dari masalah politik praktis, karena dikhawatirkan akan kehilangan substansi tugas mulianya yaitu menanamkan nilai luhur bagi anak bangsa ini.
Akhirnya, untuk menjawab pertanyaan sesuai judul tulisan ini, patut dicermati pendapat DR. Laode Ida (Wakil Ketua DPD RI) saat menjadi Pembicara Seminar Nasional Pendidikan yang berlangsung kemarin (1 Mei 2011) di Kendari, bahwa dengan adanya Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tentang Otonomi Daerah maka kewenangan pengelolaan guru oleh pemerintah pusat menjadi dimungkinkan. Tinggal menunggu respon pemerintah daerah, IKHLASKAH MELEPASKANNYA..?
Selamat Hari Pendidikan.
Kendari, 2 Mei 2011.
(Ditulis setelah mengikuti Upacara HARDIKNAS).
baca juga disini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda