Selasa, 01 Desember 2009

POLEMIK UJIAN NASIONAL

Keputusan Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi pemerintah terkait Ujian Nasional (UN). Ini berarti MA memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law (Kompas, 25 Nov 2009).
Berbagai argumentasi sudah dikemukakan oleh para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orang tua dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan Ujian Nasional. Ada benarnya bahwa hasil UN tidak dapat dijadikan indikator mutu pendidikan. Beberapa argumen yang dipakai untuk mengamini pernyataan tersebut antara lain model assessment yang dipakai dalam UN tersebut mengambil bentuk pilihan ganda (yang dilakukan dengan alasan untuk kemudahan administrasi), sementara bentuk pilihan ganda hanya dipakai untuk mengukur kemampuan menghapal fakta dan kemampuan berpikir konvergen. Padahal dalam realitas kehidupan, masalah-masalah yang dihadapi membutuhkan kemampuan berpikir divergen, mendesain, menggali kreativitas, menganalisis serta keterampilan memecahkan masalah.

Pelaksanaan UN pun tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan evaluasi. Demi agar mutu pendidikan di sekolahnya dikatakan baik maka tak jarang sekolah membentuk ‘tim sukses UN’ yang mengebiri kejujuran dan sikap profesionalnya dengan memberikan jawaban kepada siswa, mengganti jawaban, membiarkan siswa untuk menyontek, bahkan sampai mencuri soal. Celakanya, pengebirian ini dilakukan akibat adanya tekanan sistemik terhadap sekolah (baca: guru). Lebih lanjut UN juga tidak sejalan dengan semangat desentralisasi. UN adalah bentuk intervensi negara terhadap otonomi sekolah. Apalagi kinerja manajer sekolah diukur oleh hasil perolehan UN. Jika sekolah gagal dalam UN, maka pihak Dinas dapat merekomendasikan kepala sekolah untuk dipromosi atau diganti.

Sementara itu hasil UN belum memberikan rasa keadilan bagi siswa di daerah. Dapat dibayangkan, dengan menggunakan standar kelulusan yang sama (Standar kelulusan Ujian Nasional yang dikeluarkan oleh Depdiknas), SMP di Jakarta yang sudah bagus mutunya dibandingkan dengan SMP di Konawe-Sultra atau di Pedalaman Papua. Padahal, bagaimana dengan kualitas sumber daya pendidikan semisal guru atau sarana-prasarana sekolah? Bagi guru, UN juga mengabaikan penilaian proses yang dilakukan guru dalam pembelajaran. Sangat tidak adil apabila ada siswa yang gagal karena dalam UN yang dilaksanakan selama 3-4 hari tanpa mempertimbangkan kegiatan proses pembelajaran yang telah dilakukannya selama 3 tahun.

Bagaimana menyikapi polemik UN ini? Tentunya kita semua menginginkan sistem pendidikan yang baik. Olehnya itu diperlukan sikap yang arif, baik yang pro maupun yang kontra UN. Kita tetap membutuhkan UN namun dirumuskan kembali tujuan pelaksanaannya. UN jangan dijadikan patokan persyaratan kelulusan siswa, namun hendaknya dapat dijadikan standar mutu pendidikan yang bertujuan memetakan kualitas pembelajaran. Dapat dibayangkan jika sekolah-sekolah tidak memiliki standar mutu yang jelas, berakibat sekolah dapat saja seenaknya mencari keuntungan, apalagi dengan berdalih Manajemen Berbasis Sekolah. Selain itu, hasil UN seharusnya ditindaklanjuti oleh pemerintah, tidak hanya berhenti setelah pelaksanaan UN. Kita sepakat bahwa mutu sarana-prasarana pendidikan, guru dan siswa memiliki kontribusi yang signifikan terhadap mutu pendidikan itu sendiri. Olehnya, bagi sekolah yang mutunya rendah (hasil UN-nya rendah) karena mutu sumber daya pendidikannya rendah maka sudah sepatutnya pemerintah (pusat dan daerah) memberikan perhatian. Diperlukan komitmen bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, LPMP, MGMP/KKG dan MKKS, Perguruan Tinggi, pemerhati pendidikan sampai pada level masyarakat pengguna pendidikan untuk bersinergi dalam memajukan mutu pendidikan di sekolah-sekolah. Bagaimana…?


Kendari, 27 November 2009

3 komentar:

  1. memperbaiki pendidikan tidak dari hilir (ujian kelulusan), tapi dari hulu. Maka perlu kita kaji kembali konsep pendidikan kita. DAlam konsep kita coba rumuskan kembali jawaban atas 3 pertanyaan filosofis, what is education, why/what for? dan how. Inilah yg kemudian kita bawa ke dalam tataran design, yng berisi rancangan goal, process, dan resources. Design inilah yg kemudian kita implemantasikan dalam tataran operational di lapangan. salam :)

    BalasHapus
  2. memperbaiki pendidikan tidak dari hilir (ujian kelulusan), tapi dari hulu. Maka perlu kita kaji kembali konsep pendidikan kita. DAlam konsep kita coba rumuskan kembali jawaban atas 3 pertanyaan filosofis, what is education, why/what for? dan how. Inilah yg kemudian kita bawa ke dalam tataran design, yng berisi rancangan goal, process, dan resources. Design inilah yg kemudian kita implemantasikan dalam tataran operational di lapangan. salam :)

    BalasHapus
  3. SETUJU bung Albert. tRIMS dah berkunjung.
    Salam Pendidikan.

    BalasHapus

Komentar anda