Siswa itu namanya OSEP, duduk di kelas VIII (kelas 2 tingkat SMP). Ia kelahiran tahun 1992. Berati umurnya sekarang 18 tahun. Lha, usia segitu masih duduk di kelas VIII? Memang kenapa begitu lama? Selidik punya selidik ternyata ia menghabiskan 9 tahun di tingkat SD. Itu informasi yang saya peroleh dari teman-teman dan gurunya sewaktu di SD dulu. Tambahan informasi dari orang tuanya bahwa ia memang ada kelainan sifat dibanding saudara-saudaranya. Pengidap autis kata ibu guru BP/BK di sekolah kami.
Hari ini Ia datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Tidak biasanya ia seperti itu, karena hari-hari sebelumnya selalu terlambat. Datang lebih cepat, tapi tidak masuk ke halaman sekolah. Ia menunggu di pintu gerbang. Ketika kutanya, dengan sedikit cuek, ia menjawab, “menunggu bapak Kepala Sekolah, Pak.” Dari gerak-geriknya, aku menduga ada masalah yang dihadapinya, entah masalah pribadinya atau masalah pelajarannya.
Ternyata memang benar, informasi dari Kepala Sekolah yang aku peroleh, rupanya ia menuntut untuk diikutkan dalam kegiatan PORSENI Tingkat SMP sekotaku untuk cabang lari. Kata si Osep, Pak guru Pembina OSIS tidak mencantumkan namanya. Padahal menurutnya, ia merasa berhak karena sewaktu lomba lari yang diadakan sekolahku ia mendapat juara ke-4.
Teringat sewaktu lomba lari tingkat sekolah yang diadakan beberapa bulan lalu. Saat final yang tinggal diikuti oleh 4 orang termasuk Osep, start harus berulang kali dilakukan karena si Osep sering ‘mencuri’ start walaupun akhirnya ia hanya mendapat juara ke-4. Ketika upacara penyerahan hadiah untuk juara lomba yang hadiahnya hanya disediakan untuk sampai juara ke-3, ia berteriak-teriak menuntuk hadiahnya juga sebagai juara ke-4. Akibatnya, upacara penyerahan hadiah itu tertunda beberapa lama. Saat itu sepertinya tidak ada yang mengacuhkanmu. Untung aku kebetulan membawa sebungkus besar permen yang kusimpan dalam kantung kresek. Saat kuserahkan kepadanya, awalnya ia menolak tapi akhirnya menerima dengan syarat harus melalui upacara penyerahan itu. Aku tertawa geli sambil berkata dalam hati, “Anak ini butuh pengakuan dari orang lain.” Pengakuan dari orang lain?
Teringat pula saat rapat penaikan kelas setahun lalu. Dalam rapat itu, hal yang menurutku alot diperdebatkan adalah mengenai kasus Osep. Teman-teman guru yang mengajar di kelas Osep menyatakan bahwa ia tidak layak untuk naik kelas karena kriteria-kriteria naik kelas yang ditentukan sekolahku (kecuali absensinya yang 100% tidak pernah absen) tidak dapat Ia dipenuhi. Aku dan beberapa orang lainnya menyarankan untuk kasus Osep, tidak menggunakan kriteria anak normal sehingga ia dipertimbangkan untuk naik kelas. Mirip-miriplah seorang ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Yah, akhirnya ia duduk di kelas VIII seperti sekarang.
Teman-teman guru di sekolah sering menghindar untuk bertemu dengannya. Karena jika bertemu dengannya mereka harus mengeluarkan ‘energi’ ekstra untuk melayaninya bercerita. Mungkin hanya aku guru yang ‘tabah’ mendengar cerita-ceritanya tentang keberhasilannya menggoda cewek tetangga, mengeluh karena kemarin habis dimarahi oleh bapaknya, berkelahi dengan saudara yang 3 orang, keberhasilanya mendapat beberapa ekor ikan saat memancing, ataukah berbagi kegembiraan karena memperoleh uang sebesar Rp 5.000,00 setelah membantu tetanggamu mengambilkan air. Kelihatannya memang ia butuh untuk berbagi cerita dengan seseorang, dan seseorang itu harus mendukungnya dengan menunjukkan pengakuan atas dirinya. Sepertinya ia telah memilih orang itu, dan orang itu adalah AKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda